“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
kmm.or.id – Di zaman dahulu, orang-orang menyembah patung karena mereka percaya kekuatan gaib bersarang padanya. Kini, patung telah ditinggalkan, tapi keyakinan yang tak berdasar itu masih hidup hanya saja ia beralih bentuk. Ia pindah ke layar-layar gawai, ke angka-angka di aplikasi, dan ke peluang-peluang acak yang dijual sebagai harapan.
Inilah wajah baru dari keyakinan palsu.
Banyak di antara kita tanpa sadar mulai menyerahkan harapan hidup kepada hal-hal yang tidak pasti. Angka dianggap sebagai penentu nasib, keberuntungan dicari lebih keras dari ilmu, dan jalan pintas lebih disukai daripada jalan panjang penuh usaha.
Bukankah ini bahaya?
Bukankah ini serupa dengan zaman jahiliyah, hanya berganti bungkus?
Membongkar Kepercayaan Baru yang Lama
Dahulu, masyarakat jahiliyah menggantungkan nasib pada burung yang terbang ke kanan atau ke kiri. Hari ini, kita temui generasi yang menggantungkan nasib pada spin wheel, loot box, gacha, dan taruhan angka. Apa yang berubah? Benda dan medianya, ya. Tapi pola pikirnya masih sama: menyerahkan akal kepada sesuatu yang tidak punya kuasa.
Padahal, dalam Islam, takdir bukan untuk ditunggu-tunggu, tapi untuk dijemput dengan kerja keras dan doa. Tidak ada yang mendadak menjadi kaya karena menekan tombol, dan tidak ada yang benar-benar menang tanpa pengorbanan.
Lahirnya Generasi yang Doyan Jalan Pintas
Fenomena ini lebih dari sekadar candaan atau tren. Ia mencetak generasi baru anak-anak muda yang kehilangan kepercayaan pada proses. Mereka mulai percaya bahwa “nasib baik” lebih penting daripada ilmu, keterampilan, dan akhlak.
Mereka tidak lagi bertanya:
“Apa yang bisa saya pelajari?”
Tapi justru:
“Di mana bisa coba keberuntungan saya hari ini?”
Lalu ketika mereka gagal, yang disalahkan bukan sistem kepercayaannya, tetapi dunia. Ketika hidupnya tak berubah, yang dicaci adalah keadaan padahal ia sendiri yang berhenti berjuang.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaharuan), berdiri teguh memerangi kejumudan akal. Karena Islam bukan agama yang menyuruh umatnya untuk duduk menanti, melainkan berdiri, bergerak, dan berpikir.
Teknologi Tak Salah, Tapi Cara Pikir Kita Bisa Keliru
Jangan salah paham: teknologi bukan musuh kita. Ia bisa menjadi alat dakwah, alat belajar, alat silaturahmi. Tetapi ketika teknologi dipakai untuk menguatkan pola pikir takhayul, di sanalah ia berubah menjadi senjata yang menusuk dari dalam.
Anak-anak kita tidak salah karena bermain game. Mereka akan belajar banyak dari strategi, bahasa, bahkan logika. Tetapi ketika game itu mengajarkan bahwa angka acak bisa menentukan masa depan, maka kita sedang melihat pembentukan akal yang salah arah.
Tugas orang tua, pendidik, dan pemimpin umat adalah mengembalikan arah itu.
Memurnikan Akal, Menguatkan Tauhid
Islam datang untuk menyucikan hati dan memurnikan akal. Segala bentuk kepercayaan yang tidak berdasar harus dibongkar. Maka dalam pendidikan keluarga Muhammadiyah, perlu ditanamkan kembali nilai ini:
“Apa yang kamu dapat hari ini, adalah hasil dari usahamu, bukan karena angka, hoki, atau keberuntungan.”
Ajarkan anak-anak kita tentang sunnatullah: bahwa Allah telah menetapkan hukum sebab-akibat. Bahwa siapa yang menanam, dialah yang akan menuai. Bahwa rezeki bukan urusan cepat atau lambat, tapi tentang halal dan barokah.
Karena musuh terbesar umat Islam hari ini bukanlah kekuatan asing. Tapi cara berpikir yang lemah, yang lebih percaya pada kebetulan daripada ketetapan Allah.
Kembali kepada Islam yang Mencerahkan
Wahai saudaraku, jika kita ingin membentuk generasi yang kuat bebaskan mereka dari ilusi.
Bukan hanya ilusi kekayaan cepat, tapi ilusi bahwa hidup bisa diatur oleh angka.
Bawalah mereka kembali kepada ajaran Islam yang memuliakan usaha, menghargai waktu, dan menyucikan pikiran. Jangan biarkan teknologi merampas akal sehat, dan jangan biarkan harapan mereka digantungkan pada yang selain Allah.
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.”
(QS. At-Talaq: 3)
Tinggalkan Balasan