“Keadilan bukan hanya berdiri di atas hukum, tapi juga pada ketulusan kita menjaga amanah. Dan suara rakyat adalah amanah yang paling agung dalam negara demokrasi.”
Suara yang Selalu Jadi Rebutan
Dalam setiap pemilu, rakyat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan harapan dan doa agar pilihan mereka membawa kebaikan bagi bangsa. Namun, sejarah demokrasi kita tidak pernah luput dari bisik-bisik kecurangan, permainan angka, surat suara siluman, hingga sistem penghitungan yang kerap tidak transparan.
Pertanyaan besar yang menggema dari generasi muda, kaum terdidik, bahkan orang tua yang mendambakan masa depan anak-anaknya:
“Apakah suara kami benar-benar dihitung? Apakah demokrasi ini benar-benar milik rakyat?”
Di tengah keraguan itulah, muncul satu harapan baru dari dunia teknologi: blockchain.
Apa Itu Blockchain dan Mengapa Relevan untuk Pemilu?
Blockchain, jika ditilik secara sederhana, adalah teknologi pencatatan digital yang transparan, tidak bisa dimanipulasi, dan terdistribusi ke banyak pihak. Tidak ada satu lembaga pun yang bisa memalsukan data, karena setiap transaksi atau pencatatan suara terekam dalam jaringan yang disepakati bersama.
Jika diterapkan dalam pemilu, blockchain memungkinkan:
- Setiap suara rakyat dicatat secara digital dan tidak bisa diubah.
- Tidak ada surat suara ganda, rusak, atau siluman.
- Masyarakat bisa memantau hasil penghitungan secara real-time, tanpa harus menunggu konferensi pers.
- Warga di luar negeri atau daerah terpencil dapat memberikan suara secara aman melalui perangkat mereka.
Inilah yang membuat sebagian masyarakat berharap:
“Jika pemilu kita menggunakan blockchain, mungkinkah demokrasi akan lebih jujur?”
Membangun Demokrasi yang Berakhlak
Dalam pandangan Islam, khususnya Muhammadiyah, pemilu bukan sekadar proses politik, melainkan perwujudan nilai amanah, kejujuran, dan keadilan. Setiap suara rakyat adalah titipan Allah SWT, dan setiap pemimpin yang terpilih akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Maka dari itu, sistem pemilu yang baik adalah yang mencegah kebohongan dan memperkuat kepercayaan antara rakyat dan negara.
Jika blockchain bisa menjaga suara rakyat agar tidak bisa dibeli, digandakan, atau dihilangkan, maka ia sejatinya menjadi hifzhul amanah pelindung kepercayaan publik.
“Pemimpin yang zalim lahir dari sistem yang rapuh dan rakyat yang tak berdaya. Maka tegakkan sistem yang kuat, agar yang berkuasa tidak bisa berlaku sewenang-wenang.”
Risiko dan Realita, Apakah Kita Sudah Siap?
Meski menjanjikan, penerapan blockchain untuk pemilu bukan tanpa tantangan:
- Kesenjangan digital masih menjadi masalah, apakah semua warga siap memilih lewat teknologi?
- Literasi digital rendah di banyak wilayah.
- Kecurangan bisa bergeser bentuk, dari fisik ke digital, jika tidak ada etika dan pengawasan.
Maka, sebagaimana ajaran Muhammadiyah, manfaat harus didahulukan, tetapi harus diiringi dengan kesiapan akhlak, sistem pendidikan, dan partisipasi publik.
Blockchain bukan obat ajaib. Ia alat bantu. Dan alat itu tidak akan berguna jika manusianya tetap korup, malas belajar, dan tidak menjaga kejujuran.
Teknologi Adalah Amanah
Pemilu 2029 masih beberapa tahun lagi. Tapi kini, saatnya kita bertanya:
- Apakah kita ingin tetap bertahan dengan sistem lama yang rawan manipulasi?
- Ataukah kita siap belajar, berbenah, dan membangun sistem baru yang menjunjung amanah rakyat?
Blockchain, jika dimaknai sebagai sarana, bisa menjadi jalan menuju demokrasi yang lebih jujur, lebih adil, dan lebih bermartabat.
Bukan karena teknologinya canggih, tapi karena niat kita untuk menjaga kejujuran lebih kuat dari godaan kekuasaan.
Dan sebagaimana sabda Rasulullah
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Jika suara rakyat adalah amanah, maka teknologi yang menjaganya pun bagian dari ibadah.
Tinggalkan Balasan