“Setiap teknologi adalah amanah. Ketika ia hanya dipakai untuk menumpuk kekayaan, maka ia kehilangan fitrah penciptaannya untuk memudahkan hidup manusia.”
Di Balik Hype Cryptocurrency
Beberapa tahun terakhir, kata “blockchain” mulai akrab di telinga masyarakat. Sayangnya, banyak yang langsung mengaitkannya dengan Bitcoin, crypto coin, atau NFT. Akibatnya, teknologi blockchain sering dipersempit maknanya: dianggap sebagai alat spekulasi, media cepat kaya, atau bahkan sekadar “game digital”.
Padahal, blockchain bukanlah cryptocurrency, melainkan teknologi di baliknya. Dan seperti pisau dapur yang bisa dipakai untuk memasak atau mencelakakan, blockchain pun tergantung pada niat dan arah penggunaan.
Inilah saatnya kita membebaskan blockchain dari euforia kekayaan semata, dan menempatkannya kembali sebagai alat untuk kehidupan yang lebih transparan, adil, dan terdistribusi.
Apa Itu Blockchain?
Secara sederhana, blockchain adalah sistem pencatatan digital yang:
- Terdesentralisasi (tidak dikendalikan satu pihak saja)
- Transparan (semua perubahan bisa dilacak)
- Aman (dilengkapi kriptografi)
- Immutabel (tidak bisa diubah setelah disimpan)
Ibaratnya, kalau pencatatan biasa seperti buku harian pribadi, maka blockchain seperti Google Docs: semua yang memiliki akses bisa melihat perubahan secara real-time, dan tidak bisa sembarangan dihapus.
Potensi Blockchain: Untuk Keadilan, Bukan Cuma Keuntungan
Blockchain seharusnya tidak berhenti pada “uang digital”, tetapi menjadi jembatan menuju kehidupan digital yang jujur dan efisien. Berikut beberapa contohnya:
- Sektor Pertanian petani bisa mencatat jalur distribusi hasil panen dari ladang hingga konsumen. Ini menghindarkan manipulasi harga dan membuka akses pasar langsung.
- Pemilu dan Demokrasi dengan blockchain, pemungutan suara bisa dilakukan secara digital dengan transparansi penuh menghindari kecurangan, manipulasi data, atau hasil yang direkayasa.
- Dokumen dan Sertifikasi ijazah, akta, hingga sertifikat tanah bisa dicatat dalam blockchain, sehingga tidak bisa dipalsukan dan mudah diverifikasi siapa pun, kapan pun.
- Kesehatan riwayat medis bisa disimpan dalam blockchain pribadi pasien. Aman, terenkripsi, dan hanya bisa diakses oleh rumah sakit atas izin pasien.
- Distribusi Bantuan Sosial dengan smart contract, bantuan pemerintah bisa langsung masuk ke dompet digital penerima yang sah, tanpa perantara, tanpa potongan, dan tanpa penyelewengan.
Bahaya Jika Blockchain Hanya Dipakai untuk Untung
Saat blockchain direduksi menjadi “kripto”, yang terjadi adalah:
- Spekulasi: Orang membeli tanpa paham, hanya berharap harga naik.
- Kesenjangan digital: Yang tahu teknologi menjadi kaya, yang awam makin bingung.
- Penipuan: Banyak proyek bodong mengaku “berbasis blockchain”, padahal hanya ingin mencuri uang.
- Kehilangan makna: Teknologi yang seharusnya menyejahterakan malah jadi alat judi.
Blockchain diciptakan sebagai respon terhadap ketidakpercayaan sistem terpusat. Ironisnya, ia kini dijadikan alat untuk mengejar kekayaan pribadi secara sentralistik dan manipulatif.
Mengembalikan Blockchain ke Fitrahnya
Teknologi tidak pernah salah. Yang keliru adalah cara kita memaknainya. Jika sejak awal blockchain dimaknai sebagai jalan menuju transparansi dan keadilan, maka ia akan menjadi alat pembebas masyarakat dari birokrasi korup, data palsu, dan ketimpangan informasi.
Blockchain seharusnya:
- Membantu distribusi aset dan informasi secara adil
- Menguatkan kepercayaan antarlembaga dan warga
- Menumbuhkan inovasi yang inklusif, bukan eksklusif
- Memberi daya kepada masyarakat, bukan hanya korporasi besar
Dan tugas kita adalah meluruskan arah teknologi ini sejak dini mendidik, menyadarkan, dan mengajak agar blockchain tidak jatuh pada jalan yang sama seperti banyak teknologi lain: dimonopoli segelintir orang, lalu dijual kepada yang tak mengerti.
Teknologi Harus Memanusiakan Manusia
Teknologi bukan musuh agama. Dalam nilai-nilai Islam dan kemuhammadiyahan, teknologi adalah alat ijtihad zaman modern selama digunakan untuk maslahat, keadilan, dan kemajuan peradaban. Maka blockchain pun demikian. Bukan musuh, bukan dewa. Tapi wasilah sarana. Dan jika sarana itu disalahgunakan, maka kitalah yang perlu mengingatkan, mendidik, dan meluruskan arah.
Tinggalkan Balasan